Rabu, 11 Juli 2018

TUGAS SOFTSKILL ETIKA BISNIS - CONTOH KASUS


Nama  : Euis Lestari
NPM   : 12215286
Kelas   : 3EA01
Mata Kuliah  : Etika Bisnis


Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia:
Kasus Marsinah
Maulana Rafiq Ramadhan
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hal-hal yang didapatkan oleh individu, bersifat pokok, fundamental, yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi oleh individu lain, dan sudah ada didalam diri setiap manusia dari lahir, serta tidak dapat direbut atau digantikan.
Salah satu karakteristik HAM adalah bersifat universal, artinya, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras maupun golongan. Oleh karena itu, setiap negara wajib menegakkan HAM. Akan tetapi, karakteristik penegakkan HAM berbeda-beda antar negara satu dengan yang lainnya. Ideologi, kebudayaan dan nilai-nilai khas yang dimiliki suatu negara akan mempengaruhi pola penegakan HAM di suatu negara.
Hak asasi manusia (HAM) diatur dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tantang Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen penegakan HAM tersebut menjadi kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa bagi warga negara Indonesia.
Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlangsung.

Pembahasan
Kasus Marsinah
1.      Kronologis
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang- halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 9 Mei 1993
Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
2.     Penanggulangan
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ( Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut dan Porong; Yudi Astono , 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48 tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto , 22 tahun, satpam pabrik PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo , 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat, 43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi , 57 tahun, satpam pabrik PT. CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun, kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu- satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat scenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56 KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa" .

Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat itu menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama, dengan berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung kepada penduduk sipil.
Dengan melihat kasus pelanggaran HAM diatas, dalam penyelesaiannya di Indonesia dainggap tidak tuntas. Seperti kasus Marsinah yang menurut peradilan sudah selesai, namun masih belum diketahui siapa pembunuhnya, sehingga tidak ada yang diadili. Jadi, penegakan HAM di Indonesia ini belum sepenuhnya tegak dan dilaksanakan. Padahal dengan acuan Pancasila yang sedemikian bagusnya sebagai landasan dalam penegakan HAM, harusnya penegakan di Indonesia ini sudah dapat tegak dengan sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana sekarang bangsa Indonesia akan bersungguh-sungguh menegakan HAM di Indonesia atau malah sebaliknya dengan penegakan HAM yang masih sangat lemah ini. Semuanya tergantung kepada bangsa Indonesia itu sendiri.
Tanggapan
Menurut saya penegakkan HAM di Indonesia masih belum adil karena banyak kasus di Negara ini yang berhubungan dengan keadilan HAM. Lagi-lagi korbannya adalah rakyat biasa yang tidak mempunyai wewenang, tahta dan harta. Faktor itulah yang menyebabkan orang-orang tidak bisa menghargai dan bersikap seenaknya. Sedangkan orang yang mempunyai uang banyak bisa berbuat seenaknya, karena para pelaku hokum seperti polisi dll bisa tunduk dengannya karena dibutai oleh harta.
Saya berharap Indonesia bisa merubah pandangan ini. Karena ini bukan rahasia umum lagi kalau “hkum bisa dibeli”. Semoga kedepannya penerapan penegakkan HAM di Indonesia bisa di laksanakan se adil-adilnya.