Nama : Euis Lestari
NPM : 12215286
Kelas : 3EA01
Mata
Kuliah : Etika Bisnis
Kasus
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia:
Kasus
Marsinah
Maulana
Rafiq Ramadhan
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hal-hal yang didapatkan oleh individu, bersifat pokok, fundamental,
yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati dan
dijunjung tinggi oleh individu lain, dan sudah ada didalam diri setiap manusia
dari lahir, serta tidak dapat direbut atau digantikan.
Salah satu karakteristik HAM
adalah bersifat universal, artinya, hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh
setiap manusia di dunia tanpa membedakan suku bangsa, agama, ras maupun
golongan. Oleh karena itu, setiap negara wajib menegakkan HAM. Akan tetapi,
karakteristik penegakkan HAM berbeda-beda antar negara satu dengan yang
lainnya. Ideologi, kebudayaan dan nilai-nilai khas yang dimiliki suatu negara
akan mempengaruhi pola penegakan HAM di suatu negara.
Hak asasi manusia (HAM) diatur
dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tantang Hak Asasi Manusia. Instrumen-instrumen penegakan HAM
tersebut menjadi kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa bagi warga negara
Indonesia.
Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlangsung.
Pembahasan
Kasus
Marsinah
1.
Kronologis
Pada pertengahan April 1993, para
buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah karena ada
kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu
termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20%
dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS
mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai
dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei
1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala
Bagian. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari
data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja
yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00
para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh
buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa
untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik
menghalang- halangi para buruh shift II dan shift III. Para satpam juga
mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para
pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa. Aparat
dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding dengan
pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan
tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau
mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan
pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan
tercapailah kesepakatan bersama.
Namun, pertentangan antara
kelompok buruh dengan pengusaha tersebut belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei
1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam
surat dari kelurahan Siring. Tanpa dasar atau alasan yang jelas, pihak tentara
mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa
menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari
kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Marsinah bahkan sempat
mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah
lenyap. Marsinah marah saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya.
Selanjutnya, Marsinah mengancam pihak tentara bahwa Ia akan melaporkan
perbuatan sewenang-wenang terhadap para buruh tersebut kepada Pamannya yang
berprofesi sebagai Jaksa di Surabaya dengan membawa surat panggilan kodim milik
salah seorang kawannya. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak
diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat
pada tanggal 9 Mei 1993
Mayatnya ditemukan di gubuk
petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi
bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh
luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet, mungkin
karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga
karena penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain
putih yang berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas,
mengenaskan.
2.
Penanggulangan
Tanggal 30 September 1993 telah
dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu
adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan
beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ( Yudi Susanto, 45 tahun, pemilik pabrik PT CPS Rungkut
dan Porong; Yudi Astono , 33 tahun, pemimpin pabrik PT CPS Porong; Suwono, 48
tahun, kepala satpam pabrik PT CPS Porong; Suprapto , 22 tahun, satpam pabrik
PT CPS Porong; Bambang Wuryantoyo , 37 tahun, karyawan PT CPS Porong; Widayat,
43 tahun, karyawan dan sopir di PT CPS Porong; Achmad Sutiono Prayogi , 57
tahun, satpam pabrik PT. CPS Porong; Karyono Wongso alias Ayip, 37 tahun,
kepala bagian produksi PT CPS Porong) ditangkap secara diam-diam dan tanpa
prosedur resmi, termasuk Mutiari, 26 tahun, selaku Kepala Personalia PT CPS dan
satu- satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental
selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
scenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya
diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat
pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap
adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh
Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Pasal yang dipersangkakan
Penyidik Polda Jatim terhadap para tersangka dalam Kasus Marsinah tersebut
antara lain Pasal 340 KUHP, 255 KUHP, 333 KUHP, hingga 165 KUHP jo Pasal 56
KUHP.
Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni) Jaksa / Penuntut Umum. Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah
pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa" .
Kesimpulan
Pelanggaran HAM berat itu menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu, Kejahatan Genosida dan Kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dimaksudkan
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, etnis, agama, dengan berbagai cara. Sedangkan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan
yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan
secara langsung kepada penduduk sipil.
Dengan melihat kasus pelanggaran HAM diatas, dalam
penyelesaiannya di Indonesia dainggap tidak tuntas. Seperti kasus Marsinah yang
menurut peradilan sudah selesai, namun masih belum diketahui siapa pembunuhnya,
sehingga tidak ada yang diadili. Jadi, penegakan HAM di Indonesia ini belum
sepenuhnya tegak dan dilaksanakan. Padahal dengan acuan Pancasila yang
sedemikian bagusnya sebagai landasan dalam penegakan HAM, harusnya penegakan di
Indonesia ini sudah dapat tegak dengan sebagaimana mestinya. Tinggal bagaimana
sekarang bangsa Indonesia akan bersungguh-sungguh menegakan HAM di Indonesia
atau malah sebaliknya dengan penegakan HAM yang masih sangat lemah ini.
Semuanya tergantung kepada bangsa Indonesia itu sendiri.
Tanggapan
Menurut saya penegakkan HAM di Indonesia masih
belum adil karena banyak kasus di Negara ini yang berhubungan dengan keadilan
HAM. Lagi-lagi korbannya adalah rakyat biasa yang tidak mempunyai wewenang,
tahta dan harta. Faktor itulah yang menyebabkan orang-orang tidak bisa
menghargai dan bersikap seenaknya. Sedangkan orang yang mempunyai uang banyak
bisa berbuat seenaknya, karena para pelaku hokum seperti polisi dll bisa tunduk
dengannya karena dibutai oleh harta.
Saya berharap Indonesia bisa merubah pandangan ini.
Karena ini bukan rahasia umum lagi kalau “hkum bisa dibeli”. Semoga kedepannya
penerapan penegakkan HAM di Indonesia bisa di laksanakan se adil-adilnya.
Sumber: http://pelanggaranhamdiindonesia.blogspot.com/2016/10/etika-bisnis-contoh-kasus-pelanggaran.html